Raden Dewi Sartika |
Suatu
pagi yang cerah berawan di awal bulan Mei tepatnya tanggal 8 Mei 2011.
Matahari terlihat cukup cerah dan langit biru tampak berawan menutupi
matahari, terasa pagi itu akan turun hujan di kota Bandung, namun
semangat untuk menulusuri sejarah salah satu Pahlawan pelopor pendidikan
di Indonesia Raden Dewi Sartika membuat seakan-akan angin sepoi-sepoi
menyambut suasana pagi gembira mengalahkan cuaca yang terlihat kurang
mendukung. Dari kejauhan terlihat penduduk komunitas Aleut! Telah
berkumpul di halaman depan Gedug Merdeka yang dalam sejarah zaman
kolonial Hindia Belanda dahulu dikenal dengan nama Schouwburg tempat di
selenggarakanya berbagai pertunjukan kesenian bagi kalangan elite
Societeit Concordia.Di halaman Gedung Merdeka , tempat
para pecinta pariwisata dan apresiasi sejarah berkumpul, merupakan
tempat titik awal yang telah direncanakan untuk memulai trip pariwisata
sejarah bertema pelopor pendidikan Raden Dewi Sartika, perjalanan di
mulai dengan berjalan menelusuri jalan gang ke arah Jl. Dalem Kaum,
tepatnya di antara bangunan Savoy Homan dan bangunan toko De Vries,
sedikit tentang jalan antara hotel Savoy Homan dan toko De Vries, pada
masa kolonial jalan tersebut merupakan jalan yang memisahka antara
bagian utara yang ditempati oleh bangsa Penjajah Eropa dan bagian
selatan yang di tempati oleh para pribumi, hal ini menggambarkan
diskminatifnya bangsa penjajah terhadap pribumi dengan melakukan
penyekatan wilayah-wilayah dengan tidak diperbolehkanya di singgahi
pribumi di bagian utara Bandung.
Lanjut kearah jalan dalem
kaum tepatnya di suatu jembatan sungai cikapundung, jembatan ini
mempunyai sejarah yang cukup menarik pada masa lalu, dikisahkan ketika
patih Bandung yang tidak lain bapak Raden Dewi Sartika bernama Raden
Rangga Somanegara tidak puas atas terpilihnya Raden Adipati Aria
Martanegara sebagai Bupati Bandung ke 10 menggantikan R.A Kusumadilaga
yang sakit. Ketidak puasan Raden Rangga Somanegara dipicu karena adanya
politik yang dilancarkan Residen Priangan dibawah L.J.D Harders yang
mencium gelagat sikap kurang proaktif di dalam tubuh R. Rangga
Somanegara apabila terpilih menjadi Bupati Bandung, dengan alasan itulah
pemerintahan kolonial Hindia Belanda dibawah Residen Priangan
mengurungkan niatnya memilih R.Rangga Somanegara menjadi Bupati bandung
menggatikan R.A Kusumadilaga. Padahal seharusnya secara struktural
R.Rangga Somanegara-lah yang berhak mengemban jabatan sebagai Bupati
Bandung kala itu, hal tersebut beralasan karena jabatan patih Bandung
memamang pantas menggantikan posisi bupati Bandung yang kala itu didera
sakit panjang, yang pada akhirnya meninggal, pasalnya apabila terjadi
sesuatu hal yang memerlukan penggantian bupati, otomatis patihlah yang
berhak menggantikan jabatan Bupati, itu di karenakan jabatan patih
merupakan wakil bupati pada masa tersebut.
Raden Adipati Aria Martanegara |
Pada
perjalanan sejarahnya akhirnya R.A.A Martanegaralah yang terpilih
menjadi Bupati Bandung seorang keturunan darah Sumedang anak dari Raden
Kusumahyuda, cucu Pangeran Kornel yang merupakan bupati Bandung XII
(1791-1892). Karena ketidak puasan itulah akhirnya R.A Somanegara
merencanakan pemberontakan melakukan aksi perlawanan bersama kerabatnya
terhadap Gubenerman dan Bupati Bandung yang baru dengan melakukan
perencanaan peledakan jembatan cikapundung menggunakan 2 ikat dinamit
masing-masing berisi 90 batang yang telah direncanakan sebelumnya.
Runtuhlah ketika itu jembatan cikapundung sehingga menciptakan suara
letusan dasyat yang sampai terdengar ke Pendopo Dalem, ketika itu
kabarnya Bupati R.A.A Martanegara sedang menyelenggarakan acara
syukuran atas terpilihnya menjadi bupati Bandung baru. Tak khayal
suasana panik pun terjadi di syukuran tersebut.
Setelah menguak cerita cukup panjang di jembatan cikapundung di jalan Dalem Kaum, perjalanan berlanjut ke arah jalan pasundan. Ketika zaman dahulu jalan pasundana merupakan wilayah Regol, kata regol berasal dari “Regal” yang berarti bersifat kebangsawanan, regol sendiri merupakan suatu istilah yang berada di pusat pemerintahan, dengan arti demikiaan wilayah regol dapat menggambarkan bahwa dahulu wilayah regol (sekarang Jalan pasundan) merupakan tempat tinggal para abdi kaum yang tinggal pada wilayah pusat pemerintahan Bandung, yang kala itu berada di antara bangunan pendopo Bandung tempat bupati Bandung menetap dan menjalankan kekuasaan di wilayahnya.
Perjalanan akhirnya melanjut ke arah jalan Dewi Sartika, cuaca mulai tidak mendukung, hujan rintik- rintik pun mulai turun, tapi semangat mengapresiasikan sejarah Komunitas Aleut! Tidak padam, di tengah perjalanan di jalan Dewi Sartika, tampak bagian belakang pendopo Bandung terlihat, ornamen gada yang merupakan ciri khas arsitektur Ir.Soekarno nampak di atas bangunan tersebut, sedikit menggambarakan ornamen gada merupakan senjata Bima atau Werkudara pada tokoh perwayangan salah satu bagian tokoh dari Pandawa Lima yang di gemari Ir Soekarno. Oleh sebab itulah Soekarno selalu memberikan sentuhan ornemen gada pada arsitektur bangunan yang di buatnya.
Setelah menguak cerita cukup panjang di jembatan cikapundung di jalan Dalem Kaum, perjalanan berlanjut ke arah jalan pasundan. Ketika zaman dahulu jalan pasundana merupakan wilayah Regol, kata regol berasal dari “Regal” yang berarti bersifat kebangsawanan, regol sendiri merupakan suatu istilah yang berada di pusat pemerintahan, dengan arti demikiaan wilayah regol dapat menggambarkan bahwa dahulu wilayah regol (sekarang Jalan pasundan) merupakan tempat tinggal para abdi kaum yang tinggal pada wilayah pusat pemerintahan Bandung, yang kala itu berada di antara bangunan pendopo Bandung tempat bupati Bandung menetap dan menjalankan kekuasaan di wilayahnya.
Perjalanan akhirnya melanjut ke arah jalan Dewi Sartika, cuaca mulai tidak mendukung, hujan rintik- rintik pun mulai turun, tapi semangat mengapresiasikan sejarah Komunitas Aleut! Tidak padam, di tengah perjalanan di jalan Dewi Sartika, tampak bagian belakang pendopo Bandung terlihat, ornamen gada yang merupakan ciri khas arsitektur Ir.Soekarno nampak di atas bangunan tersebut, sedikit menggambarakan ornamen gada merupakan senjata Bima atau Werkudara pada tokoh perwayangan salah satu bagian tokoh dari Pandawa Lima yang di gemari Ir Soekarno. Oleh sebab itulah Soekarno selalu memberikan sentuhan ornemen gada pada arsitektur bangunan yang di buatnya.
Perjalanan selanjutnya dilanjutkan ke jalan
Kautamaan Istri yang merupakan tempat berdirinya sekolah Istri yang di
bangun oleh Dewi Sartika pada tahun 1905 dengan dana tabungan
pribadinya di bantu dana Bupati R.A.A Martanegara. Sekolah yang dibangun
Dewi Sartika mempunyai sejarah panjang pada masa-kemasa di mulai pada
tahun 1904 dengan nama sekolah Istri bertempat sementara di ruangan
Paseban Barat di halaman depan rumah bupati Bandung dengan murid
berjumlah 60 orang siswi dan tiga orang tenaga pengajar yaitu Dewi
Sartika sendiri dan dua saudara misanya yaitu, Nyi Poerwa dan Nyi Oewit.
Persisnya pada tahun 1905 karena ruangan tidak lagi dapat menampung
jumlah siswi yang bertambah sekolah tersebut di pindahkan ke jalan
Ciguriang- Kebon Cau (sekarang:Jalan Kautamaan Istri) sekolah dibangun
dengan nama sekolah yang sama yaitu Sakola Kautamaan Istri. Barulah
ketika tahun 1910 sekolah yang di bangun Dewi Sartika berubah menjadi
yayasan, hal ini bertujuan untuk mengembangkan sekolah bumi putera yang
di bangun oleh Dewi Sartika dengan bantuan himpunan dana dari
pihak-pihak yang ingin menyumbang dana bagi pengembangan sekolah bumi
putera istri, akhirnya dengan berubahnya sekolah menjadi berlandaskan
yayasan sekolah isri berubah namanya menjadi Sakola Kautamaan Istri.
Yayasan perkumpulan kautamaan istri yang dipimpin oleh istri Residen Priangan dalam waktu singkat membuhkan hasil, sehingga dari dana yang di himpun yayasan, yayasan Kautamaan Istri dapat mendirikan cabang Sakola Kautamaan Istri di daerah Sumedang, Cianjur, Sukabumi ,Tasikmalaya,Garut,Purwakarta dan sebagainya. Pada tahun 1929 bersamaan genap usia 25 tahun berdirinya Sekola Kautamaan Istri. Pemerintah Hindia Belanda memberi hadiah berupa sebuah gedung baru yang permanen. Pada perayaan peresmian gedung baru itu, nama Sakola Kautamaan Istri diumumkan berganti menjadi Sekola Raden Dewi. Pada perkembanganya pada zaman penjajahan Jepang Sakola Raden Dewi berganti nama menjadi Sekolah Gadis no 29.
Yayasan perkumpulan kautamaan istri yang dipimpin oleh istri Residen Priangan dalam waktu singkat membuhkan hasil, sehingga dari dana yang di himpun yayasan, yayasan Kautamaan Istri dapat mendirikan cabang Sakola Kautamaan Istri di daerah Sumedang, Cianjur, Sukabumi ,Tasikmalaya,Garut,Purwakarta dan sebagainya. Pada tahun 1929 bersamaan genap usia 25 tahun berdirinya Sekola Kautamaan Istri. Pemerintah Hindia Belanda memberi hadiah berupa sebuah gedung baru yang permanen. Pada perayaan peresmian gedung baru itu, nama Sakola Kautamaan Istri diumumkan berganti menjadi Sekola Raden Dewi. Pada perkembanganya pada zaman penjajahan Jepang Sakola Raden Dewi berganti nama menjadi Sekolah Gadis no 29.
Sekolah Kautamaan Istri |
Pada masa Bandung Lautan Api tahun 1946, pada masa itu Mentri Petahanan Republik Indonesia Mr.Amir Syarifuddin mengumumkan perintah agar semua penduduk pribumi di Bandung mengungsi ke wilayah Bandung selatan sampai ke luar kota Bandung, karena pada saat itu kota Bandung akan di bumi hanguskan. Dengan kejadiaan itu akhirnya Dewi Sartika bersama anak dan cucu pergi mengungsi ke ciparay, kemudian melanjutkan perjalanan ke Garut dilanjut ke daerah antara kota Tasikmalaya dan Ciamis yaitu Desa Cineam. Dalam pengungsiaan ini Dewi Sartika merasa sedih dan prihatin memikirkan sekolah dengan susah payah ia perjuangakan.Akhirnya pada tanggal 11 September 1947 Dewi Sartika di panggil Yang Maha Kuasa, karena sakit yang diderita olehnya, Kemudiaan dalam suatu upacara pemakaman yang sederhana, Dewi Sartika dimakamkan di Pemakaman Cigagadon Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tibalah sampai tiga tahun kemudian, persisnya pada tahun 1950, kerangkanya dipindah dan dimakamkan kembali di Komplek Pemakaman Bupati Bandung di jalan Karang Anyar Bandung.
Melihat sejarah Dewi Sartika dalam dunia pendidikan, Dewi Sartika merupakan tokoh wanita yang membentuk para wanita indonesia di masa lalu hingga masa kini, melalui berbagai kegiatan pendidikan yang diperjuangkan sejak tahun 1904. Prinsip yang sejak dahulu ditanamkan kepada anak didiknya dulu menjadi kenyataan bahwa “Ari jadi awewe kudu sagala bisa!” telah terbukti nyata pada zaman sekarang.
Halo Bossku Semua .. SALAM HOKI Selalu ya !
ReplyDeleteDapatkan Bonus Spesial NATAL dari Om Santa BOLA VITA
Bonus s/d 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah)
Hanya BO LA VI TA yang memberikan bonus-bonus menarik tiap hari!
Yuk Gabung Sekarang! Pendaftaran Gratis Loh!
WA : 0813-7705-5002 ~
Atau Hubungi Kesini Ya Boss :
BBM: B O L A V I T A (tanpa spasi)
WeChat: BOLA VITA (tanpa spasi)
Line : cs_bola vita (tanpa spasi) ~